Selasa, 05 Januari 2010

Eksploitasi Pasir Besar-besaran di Riau

Bukti Ketergantungan bangsa Indonesia kepada alam dapat dilihat dari pemanfaatan Sumber Daya Alam (SDA) yang besar-besaran tanpa melihat kelanjutan fungsinya. Era sentralisasi pemerintahan eksploitasi yang tidak berwawasan lingkungan hidup masih terbatas pada pemanfaatan wilayah-wilayah strategis saja, namun dewasa ini era otonomi daerah yang diterapkan di Indonesia memperuncing permasalahan pengelolaan lingkungan hidup, khusunya pemanfataan SDA di daerah dimana masing-masing daerah berlomba-lomba mengeksploitasi kekayaan alam masing-masing.

Otonomi Daerah dan Prioritas Pembangunan

Sebagian besar diskusi yang berlangsung mengenai prospek keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah, tertuju pada masalah perimbangan anggaran antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Sepertinya ada asumsi bahwa dengan memiliki anggaran belanja yang besar maka pemerintah daerah akan mampu mengelola pelaksanaan otoda. Seiring dengan asumsi ini, maka daerah yang diuntungkan adalah hanya daerah yang memiliki sumber daya alam yang berlimpah. Kondisi ini dipertegas dengan gencarnya pemerintah daerah berpikir keras untuk mendapat penopang pembangunan daerahnya. Salah satunya melalui Pendapatan Asli Daerah (PAD) .Sehingga PAD menjadi akronim yang populer di tengah maraknya diskusi Otonomi Daerah. Metode yang paling populer di Indonesia untuk pemasukan PAD adalah dengan mengekploitasi sumber daya alam yang ada. Mungkin tidak menjadi problem pelik bagi daerah yang ketersediaan sumber daya alamnya berlimpah. Tetapi sebaliknya banyak daerah yang merasa ketersediaan potensi sumber daya alamnya yang sedikit seakan-akan tidak berdaya menghadapi otoda. Pendekatan yang kedua paling mudah adalah meningkatkan PAD melalui Pajak dan Retribusi Daerah.
Propinsi Riau sebagai salah satu daerah otonomi di Indonesia dewasa ini perlu mendapatkan perhatian khusus, hal ini terkait dengan adanya kegiatan ekspor pasir berskala besar yang dilakukan ke negara tetangga Singapura, kegiatan perdagangan pasir dilaksanakan propinsi ini sejak tahun 70-an dan mencapai puncaknya pada dekade 80-an. (Badan Koordinasi Survey dan Pemetaan Nasional ) menyatakan bahwa Indonesia belum kehilangan satu pulau pun dari kegiatan ini. Namun, melihat bahwa kegiatan menjual tanah air ini masih terus berlangsung dan semakin bertambah intensitasnya, kekhawatiran tersebut bukan tidak mungkin terjadi.
Tidak seperti ekspor daerah otonomi lain yang memperoleh PAD dari penjualan hasil alam seperti hasil pertanian, peternakan atau hasil laut. Propinsi Riau extrim memilih pasir sebagai komoditas ekspor yang menguntungkan.
Penambangan pasir memang dianggap memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD) Propinsi Riau . Triliunan rupiah dihasilkan dari kegiatan ini. Terlepas dari maraknya aksi pencurian yang terjadi akibat sulitnya menentukan batas konsesi, penambangan pasir laut/darat telah menjadi primadona bagi pendapatan asli daerah setempat.
Hampir 84% komoditi yang diekspor oleh Propinsi Riau adalah pasir laut. Dua persen lainnya pasir darat dan sisanya komoditi lain. Saat ini, hampir seluruh wilayah perairan empat kabupaten di Propinsi Riau sudah dikapling-kapling oleh para pengusaha. Hingga Juni 2002, tercatat 67 perusahaan yang telah mengantongi izin eksploitasi. Sementara itu, 300 perusahaan lainnya sudah memiliki izin eksplorasi. Belum lagi, bila satu perusahaan memiliki lebih dari satu konsesi, seperti PT Equator Reka Cipta dengan 14 konsesinya.
Bisnis ini juga melibatkan begitu banyak orang berpengaruh di negeri ini. Dari mulai Habibie, Ricardo Gelael, Taufik Kiemas hingga MS Zulkarnen, mantan direktur Walhi. Tidak heran, mengingat ada begitu banyak uang yang mengalir di dalamnya.
Untuk dapat melaksanakan kegiatan penambangan pengusaha harus memperoleh izin pertambangan dengan memenuhi persyaratan usaha yang ditentukan oleh Pemerintah Daerah Propinsi Riau (melalui Bupati dan Badan Pengawas Daerah (BPD) Riau. Sebagaimana diketahui, ketika izin konsesi didapatkan, pengusaha terlebih dahulu harus menyetorkan sejumlah uang sebagai jaminan kesungguhan sebesar US$ 5 per hektar ke BPD Riau. Ditambah iuran eksplorasi sebesar Rp. 20.000 per hektarnya dan iuran daerah Rp. 25 ribu/ha. Ini belum lagi ditambah dengan biaya pengembangan masyarakat (Community Development), sebagai kompensasi terhadap nelayan tradisional yang besarnya mencapai 300-400 juta untuk setiap konsesi dan dana penelitian AMDAL sebesar 200 juta.
Pungutan yang besar sebagai salah satu faktor yang mengakibatkan banyaknya kecurangan yang dilakukan pihak pengusaha, dengan mengambil pasir secara brutal tanpa memperhaitan mekanisme yang ada. Hal ini dilakukan demi meraih uang kompensasi dari pungutan-pungutan yang sedemikian besar.
Dalam proses penambangan pasir, angka menyatakan bahwa dalam satu kali kegiatannya tiap kapal mampu menyedot sekitar 60 ribu m3 dan dalam satu hari setiap kapalnya bisa bolak-balik lima kali lebih dari lokasi penambangan ke lokasi reklamasi. Artinya, 300 ribu meter kubik tersedot setiap harinya untuk satu kapal. Bila dikali 10 kapal (minimal) yang beroperasi, maka setiap harinya 3 juta m3. Setahun, berarti 750 juta m3 untuk masa kerja aktif 250 hari. Jika dikalikan selama 5 tahun (aktivitas penambangan paling marak) total 1,25 milyar m3 pasir Riau tersedot dan pindah ke Singapura. Kalau bibir pantai sebelah timur Sumatera di timbun selebar 500 meter dengan kedalaman 10 meter, pasir itu bisa dipakai untuk menutup pantai dari Lampung hingga Aceh.
Dengan jumlah yang sedemikian fantastis, Negeri Singapura bertambah luas. Pada tahun 1991, luas daratan Singapura hanya 633 km2. Sepuluh tahun kemudian, luasnya sudah menjadi 760 km2, bertambah 20%. Penambahan pasir ini berkat andil Propinsi Riau dengan pasirnya. Bisa jadi, suatu saat sebuah pulau yang dulunya milik Propinsi Riau akan diklaim menjadi milik Singapura. Hal ini dimungkinkan mengingat dalam konvensi hukum laut disebutkan bahwa wilayah laut dihitung berdasarkan coastal base line atau titik-titik terluar dari suatu wilayah. Bila pasir terus diekspor dan daratan Singapura bertambah, otomatis batas teritorialnya pun meluas.
Melihat latar belakang diatas kiranya dapat memberikan sedikit gambaran awal mengenai demikian parahnya kasus penjualan pasir sampai pencuriannya di Propinsi Riau. Sebab permasalahan diatas apabila dinalar secara logika akan memberikan dampak kerusakan lingkungan yang luar biasa tidak hanya bagi Sumber Daya Alam (SDA) yang dieksploitasi, masyarakat setempat dan tak pelak apabila terus dibiarkan maka kedaulatan negara Indonesia akan segera terkena imbasnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Halaman